Friday, August 04, 2017

Kesalahan Pembaptisan Bayi

Banyak gereja hari ini membaptiskan bayi, atau lebih cocok sebenarnya dikatakan mereka memercik bayi. Kata “baptis” berarti menyelamkan, dan kebanyakan gereja tidak menyelamkan bayi, mereka hanya memercik mereka. Tetapi, Gereja Ortodoks Timur, yang memiliki basis Yunani (dibandingkan Roma Katolik yang berbasiskan Latin), benar-benar menyelamkan bayi.

Gereja-gereja Protestan juga melakukan “baptis” bayi atau pemercikan bayi. Ini karena gereja-gereja Protestan keluar dari Roma Katolik, dan karena itu mewarisi sebagian doktrin-doktrin Katolik. Sepanjang sejarah, ada sekelompok orang-orang percaya alkitabiah, yang dikenal dengan berbagai nama (Donatis, Bogomil, Waldensian, Novatian, Anabaptis, dll., modern ini kaum Baptis), yang sejak awal berada di luar Roma Katolik, dan mempertahankan pengajaran alkitabiah bahwa hanya orang percaya yang boleh dibaptis. Berikut ini akan dipaparkan secara singkat, kesalahan praktek membaptiskan bayi (apalagi memercik bayi). Membaptis bayi adalah kesalahan besar, karena:

1. Melanggar Prinsip Firman Tuhan tentang Baptisan

a. Percaya kepada Yesus Kristus adalah syarat baptisan

Mereka melanjutkan perjalanan mereka, dan tiba di suatu tempat yang ada air. Lalu kata sida-sida itu: “Lihat, di situ ada air; apakah halangannya, jika aku dibaptis?” Sahut Filipus: “Jika tuan percaya dengan segenap hati, boleh.” Jawabnya: “Aku percaya, bahwa Yesus Kristus adalah Anak Allah.” (Kis. 8:36-37).

Perikop ini sangat jelas mengajarkan tentang pembaptisan. Filipus menginjili seorang sida-sida dari Etiopia. Lalu, sida-sida itu ingin dibaptis, dan menanyakan apakah ia boleh dibaptis atau tidak. Filipus memberikan jawaban yang tegas: Jika seseorang percaya dengan segenap hati (kepada Yesus, sesuai dengan penjelasan Filipus tentang perikop dalam Yesaya yang dibaca oleh sida-sida), maka ia boleh dibaptis. Tentu kebalikannya menjadi benar, bahwa jika seseorang belum percaya pada Yesus dengan segenap hati, maka ia tidak boleh dibaptis.

Dari ayat di atas menjadi jelas, bahwa bayi tidak boleh dibaptis. Mengapa? Karena bayi belum percaya kepada Yesus Kristus. Tetapi bukankah orang tuanya telah percaya? Dalam Alkitab, masalah iman selalu adalah masalah pribadi seseorang dengan Tuhan, dan tidak bisa iman seseorang menyelamatkan pribadi lain selain dirinya sendiri. Jadi, orang tua yang beriman tidak bisa meminjamkan iman mereka pada bayi mereka, sehingga bayi itu dibaptis.

Ada lagi orang yang berdalih dan berkata, “Pokoknya saya tidak melihat ada ayat di Alkitab yang mengatakan ‘tidak boleh membaptis bayi.’” Tetapi, ini adalah argumen yang dicari-cari dan membangkang pada Firman Tuhan. Dengan memakai logika yang sama, seorang pemuda yang nakal dapat berkata, “tidak ada ayat yang mengatakan jangan merokok, tidak ada ayat yang mengatakan jangan pakai heroin.” Tetapi, jelas orang Kristen yang sejati tahu untuk tidak merokok dan tidak menggunakan narkoba, karena ada PRINSIP-nya dalam Alkitab, antara lain: bahwa kita tidak boleh merusak tubuh kita (1 Kor. 6:19-20; 3:16-17), dan bahwa kita tidak boleh membiarkan diri kita diperhamba oleh apapun (1 Kor. 6:12). Jadi, tidak diperlukan ayat yang berkata “tidak boleh membaptis bayi,” karena pembaptisan bayi sudah otomotis dilarang dengan adanya syarat baptisan: haruslah seseorang yang percaya.

Ada lagi orang yang ingin menggugurkan prinsip ini, dengan menunjukkan bahwa sebagian Alkitab terjemahan modern, menghilangkan Kisah Rasul 8:37. Memang sebagian Alkitab terjemahan modern menghilangkan ayat 37 (LAI menuliskannya dalam tanda kurung), tetapi itu karena terjemahan modern mengikuti teks yang korup, yang disebut Critical Text. Critical Text adalah teks yang banyak menghilangkan ayat-ayat tentang keilahian Kristus dan kedagingan Kristus, tetapi teks ini disenangi oleh kaum liberal dan bidat. Sayangnya, akademia Kristen banyak dikuasai oleh orang-orang liberal, sehingga sebagian penerjemahan Alkitab memakai teks yang korup ini. Tetapi, dengan akal sehat saja, kita bisa melihat bahwa sebenarnya tidak mungkin tidak ada ayat 37. Masakan ada pertanyaan sida-sida: “apakah halangannya jika aku dibaptis,” lalu tidak ada jawaban dari Filipus? Dari sudut pandang literatur, hilangnya ayat 37 akan menghancurkan struktur. Jelas ayat 37 dihilangkan oleh teks yang korup, tetapi puji Tuhan terpelihara dalam teks yang diterima oleh orang percaya (Tekstus Receptus).

b. Baptisan adalah Tanda Pertobatan
Aku membaptis kamu dengan air sebagai tanda pertobatan, tetapi Ia yang datang kemudian dari padaku lebih berkuasa dari padaku dan aku tidak layak melepaskan kasut-Nya. Ia akan membaptiskan kamu dengan Roh Kudus dan dengan api. (Mat. 3:11)

Yohanes Pembaptis adalah pribadi yang dipersiapkan oleh Allah untuk memperkenalkan upacara pembaptisan di Perjanjian Baru ini. Semua murid dan rasul Yesus Kristus dibaptis oleh Yohanes Pembaptis, bahkan salah satu syarat kerasulan adalah telah menjadi murid Yesus sejak dibaptis oleh Yohanes (Kis. 1:21-22). Belakangan, setelah kemartiran Yohanes Pembaptis, upacara baptisan dilanjutkan oleh murid-murid Yesus.

Di dalam Matius 3 dan juga perikop paralel di Injil lainnya, Yohanes Pembaptis menyerukan pertobatan, dan orang yang bertobatlah yang dibaptis sebagai suatu tanda publik bahwa ia bertobat. Oleh sebab itu, tidak salah jika baptisan disebut sebagai “tanda pertobatan.” Itu adalah salah satu fungsi baptisan, yaitu sebagai pengumuman pertobatan seseorang. Fungsi lain dari baptisan adalah menggambarkan persatuan dengan Kristus dalam kematian, penguburan, dan kebangkitan (Roma 6:3-4; Kol. 2:12)

Ketika ada sekelompok orang (Farisi dan Saduki) yang meminta dibaptis, tetapi diragukan pertobatannya, Yohanes menolak, dan meminta mereka untuk memperlihatkan buah pertobatan terlebih dahulu. Jadi jelas dari semua ini, bahwa hanyalah orang yang telah bertobat yang boleh dibaptis. Prinsip ini konsisten dengan yang pertama di atas, bahwa syarat baptisan adalah percaya, karena dalam Alkitab, percaya dan bertobat adalah satu paket rohani (Kis. 19:4; 20:21). Jadi, jelas bahwa membaptiskan bayi adalah suatu kesalahan, karena bayi belum bertobat. Baptisan adalah tanda pertobatan, jadi bayi yang belum bertobat tidak boleh dibaptis.

Ada lagi sebagian orang yang berdalih dengan mengatakan bahwa Yesus Kristus pun dibaptis, walaupun tidak bertobat. Memang benar, Yesus Kristus dibaptis, dan benar juga bahwa Yesus Kristus tidak bertobat, karena Ia tidak memiliki dosa sama sekali. Tetapi apakah ini membenarkan baptisan bayi? Jelas tidak.

Misalkan ada seorang raja atas suatu kota, yang memberikan aturan bahwa siapapun yang mau masuk kota haruslah terlebih dahulu membayar semua hutangnya. Lalu terjadilah antrian di pintu gerbang kota, yaitu antrian orang-orang yang membayar hutang untuk memasuki kota. Lalu datanglah seseorang dan tanpa ikut antrian langsung masuk kota itu. Proteslah semua orang yang mengantri, tetapi akhirnya terdiam karena ternyata orang yang melenggang masuk itu tidak punya hutang apa-apa. Bolehkah orang lain yang punya hutang mencoba untuk melenggang masuk? Tentu tidak.

Tuhan Yesus dibaptis tanpa bertobat, karena Ia sama sekali tidak berdosa. Semua manusia lain telah berdosa (Roma 3:10, 23), termasuk bayi pun dikandung dalam dosa (Maz. 51:7), dan ikut berdosa bersama dengan Adam (Roma 5:12-15). Oleh karena itu, tidak sah untuk memakai contoh Tuhan Yesus dibaptis tanpa bertobat, untuk membaptis bayi. Jika Tuhan Yesus tidak berdosa, dan tidak bertobat, lalu untuk apa Ia dibaptis? Ingat, bahwa baptisan memiliki fungsi kedua, yaitu menggambarkan kematian, penguburan, dan kebangkitan Yesus. Jadi, Yesus melakukannya untuk menggambarkan karyaNya nanti di atas kayu salib, dan itulah kehendak Allah (Mat. 3:15). Sebaliknya, pembaptisan bayi melanggar prinsip Alkitab bahwa baptisan adalah tanda pertobatan bagi manusia berdosa.

c. Pembaptisan Bayi Melanggar Prinsip bahwa Iman adalah Hal Pribadi
Pembaptisan bayi melanggar prinsip dalam Alkitab bahwa iman adalah hal pribadi. Tuhan berurusan dengan masing-masing pribadi. Tidak seorang pun dapat mengandalkan iman leluhurnya, orang tuanya. Justru kaum Farisi dan Saduki dimarahi Yohanes waktu mereka mau dibaptis, karena mereka mengandalkan status sebagai anak Abraham.

Dan janganlah mengira, bahwa kamu dapat berkata dalam hatimu: Abraham adalah bapa kami! Karena aku berkata kepadamu: Allah dapat menjadikan anak-anak bagi Abraham dari batu-batu ini! (Mat. 3:9)
Sayangnya begitu banyak orang Kristen hari ini, karena tradisi, karena membela doktrin gereja, malah mengabaikan prinsip yang sangat jelas ini. Mereka berdalih bahwa orang tuanya sudah beriman! Tetapi bukan itu yang Tuhan tuntut. Yang Tuhan tuntut adalah: orang yang dibaptis itu harus beriman! (Kis. 8:37).

Alkitab selalu berbicara mengenai orang-orang memberi diri dibaptis. Jadi pembaptisan adalah atas kemauan diri sendiri, bukan kemauan orang tua, kemauan suami istri, kemauan anak, tetapi kemauan pribadi.
Seluruh orang banyak yang mendengar perkataan-Nya, termasuk para pemungut cukai, mengakui kebenaran Allah, karena mereka telah memberi diri dibaptis oleh Yohanes. Lukas 7:29
Orang-orang yang menerima perkataannya itu memberi diri dibaptis dan pada hari itu jumlah mereka bertambah kira-kira tiga ribu jiwa. Kisah Rasul 2:41
Tetapi sekarang mereka percaya kepada Filipus yang memberitakan Injil tentang Kerajaan Allah dan tentang nama Yesus Kristus, dan mereka memberi diri mereka dibaptis, baik laki-laki maupun perempuan. Kisah Rasul 8:12
Menjelang kedatangan-Nya Yohanes telah menyerukan kepada seluruh bangsa Israel supaya mereka bertobat dan memberi diri dibaptis. Kisah Rasul 13:24
Pada jam itu juga kepala penjara itu membawa mereka dan membasuh bilur mereka. Seketika itu juga ia dan keluarganya memberi diri dibaptis. Kisah Rasul 16:33
Tetapi Krispus, kepala rumah ibadat itu, menjadi percaya kepada Tuhan bersama-sama dengan seisi rumahnya, dan banyak dari orang-orang Korintus, yang mendengarkan pemberitaan Paulus, menjadi percaya dan memberi diri mereka dibaptis. Kisah Rasul 18:8
Ketika mereka mendengar hal itu, mereka memberi diri mereka dibaptis dalam nama Tuhan Yesus. Kisah Rasul 19:5
Bayi tidak pernah memberi diri dibaptis. Bayi selalu dipaksa oleh orang tuanya untuk dibaptis. Oleh karena itu, pembaptisan bayi adalah kesalahan besar.

d. Alkitab Tidak Pernah Menyetujui Baptisan Bayi
Selain dari semua prinsip di atas, satu hal yang jelas adalah bahwa tidak ada baptisan bayi dalam Alkitab. Para pendukung baptisan bayi mencari akal sedemikian rupa untuk menyulapkan baptisan bayi ke dalam Kitab Suci, tetapi dengan sia-sia.

Ada yang berkata bahwa Yesus memperbolehkan anak-anak datang padaNya (Luk. 18:15-16). Tetapi teks sangat jelas bukan berbicara mengenai pembaptisan, melainkan membiarkan anak-anak bertemu Yesus. Jelas, anak-anak perlu diperkenalkan pada Yesus, dibawa ke gereja, diajar Firman Tuhan. Tetapi mereka baru dibaptis SETELAH mereka percaya Yesus, jangan sebelum. Itu prinsip yang sudah jelas dalam Alkitab. Jika ada orang dewasa datang ke gereja dan mau belajar kekristenan, apakah kita membaptis dia sebelum belajar, atau setelah dia paham dan percaya? Tentu setelah dia percaya! Mengapakah untuk anak-anak proses ini mau dibalik? Bahwa anak dibaptis dulu, baru pelan-pelan diperkenalkan pada Kristus? Bukankah ini melanggar makna dan prinsip baptisan?

Ada lagi yang berkata bahwa ada baptisan atas seisi rumah, misal seisi rumah Lidia (Kis. 16:14-15), seisi rumah kepala penjara Filipi (Kis. 16:33), dan keluarga Stefanus (1 Kor. 1:16). Lalu, mereka BERASUMSI, bahwa ada bayi dalam keluarga-keluarga ini, dan memakai ini sebagai pembenaran baptisan bayi. Tetapi, asumsi jelaslah hanya asumsi. Asumsi ini juga bertentangan dengan bagian Firman Tuhan lainnya (Kis. 8:37; Mat. 3:11), sehingga tidak dapat dibenarkan. Ada banyak keluarga yang tidak memiliki bayi saat mereka percaya pada Tuhan. Bahkan dalam kasus keluarga kepala penjara Filipi, dengan tegas dikatakan bahwa seisi rumahnya percaya (Kis. 16:34), jadi sudah pasti tidak ada bayi.

Ada lagi yang berkata bahwa baptisan adalah padanan dari sunat di Perjanjian Lama. Sehingga, karena di Perjanjian Lama sunat dilakukan pada bayi yang baru lahir (8 hari), demikian juga di Perjanjian Baru, baptis dapat dilakukan pada bayi. Mereka kadang mengutip:
Dalam Dia kamu telah disunat, bukan dengan sunat yang dilakukan oleh manusia, tetapi dengan sunat Kristus, yang terdiri dari penanggalan akan tubuh yang berdosa, karena dengan Dia kamu dikuburkan dalam baptisan, dan di dalam Dia kamu turut dibangkitkan juga oleh kepercayaanmu kepada kerja kuasa Allah, yang telah membangkitkan Dia dari orang mati. Kamu juga, meskipun dahulu mati oleh pelanggaranmu dan oleh karena tidak disunat secara lahiriah, telah dihidupkan Allah bersama-sama dengan Dia, sesudah Ia mengampuni segala pelanggaran kita, (Kol. 2:11-13)
Mereka mengklaim bahwa perikop ini mengaitkan baptisan dengan sunat.

Tetapi, jika kita perhatikan dengan seksama perikop ini, maka jelas bahwa baptisan sama sekali tidak dikaitkan dengan sunat jasmani yang dilakukan pada bayi di Perjanjian Lama. Jika ada pengaitan sekalipun, baptisan dikaitkan dengan sunat rohani! Konsep sunat rohani tidak asing dalam Perjanjian Lama sekalipun. Sunat jasmani adalah pegeratan kulit khatan fisik. Tetapi Tuhan tidak pernah puas dengan hanya sunat jasmani, melainkan menghendaki sunat rohani, yaitu perubahan hati seseorang.

Jadi, dalam perikop ini, orang Kolose dikatakan telah disunat rohani (Sunat Kristus), yang melibatkan pengampunan segala pelanggaran dan penanggalan tubuh yang berdosa. Dan ini dikaitkan dengan baptisan sebagai tanda eksternalnya. Tidak ada orang yang bisa melihat sunat internal (sunat rohani), sehingga memberi diri dibaptis adalah pengumuman publik bahwa seseorang mati, dikubur, dan bangkit bersama Kristus.

Dengan kata lain, justru perikop ini menegaskan bahwa orang yang dibaptis adalah orang yang disunat rohani, yaitu telah diampuni dosanya, dan telah lahir baru. Kesalahan para pembaptis bayi adalah melihat kepada sunat fisik yang terjadi setelah kelahiran jasmani. Padahal, baptisan seharusnya adalah tanda eksternal dari sunat internal, yaitu keselamatan, dan haruslah dilakukan setelah kelahiran rohani, bukan kelahiran jasmani.

2. Membawa Bahaya yang Besar
Selain melanggar Firman Tuhan, membaptiskan bayi juga membawa bahaya. Tentu segala pelanggaran terhadap Firman Tuhan membawa bahaya. Ada orang yang berkata, “Tidak mengapa membaptis bayi, toh tidak ada bahayanya.” Ini tentu pemikiran yang salah. Kita tidak lebih bijak dari Tuhan, sehingga punya hak untuk menentukan mana perintah Tuhan yang boleh kita langgar, dan mana yang tidak boleh. Minimal, setiap pelanggaran Firman Tuhan akan dimintai pertanggungan jawab oleh Tuhan nanti. Tetapi, pembaptisan bayi bukan hanya bermasalah secara teoritis, tetapi juga menimbulkan masalah besar secara praktis dan historis.

a. Dampak Pribadi
Apa dampak pribadi pembaptisan bayi? Dampak kepada orang tua adalah mereka melanggar Firman Tuhan. Tuhan tentu akan mengurus hal ini dalam Pengadilan Kristus suatu hari nanti. Dampak kepada bayi yang dibaptis adalah bahwa dia dari kecil tahu bahwa dia sudah dibaptis, bahwa dia sudah “Kristen.” Hal ini berpotensi untuk membuat dia tidak menyadari posisinya sebagai orang berdosa yang membutuhkan Kristus. Toh dia sudah Kristen, dia sudah anggota gereja, sudah dibaptis. Hal ini dapat mempersulit pemberitaan Injil bagi anak tersebut.
Mungkin ada yang berkata, bahwa masalah ini hanya potensi saja, dan banyak bayi yang “dibaptis” yang akhirnya beriman. Memang benar, ada anak yang dipercik waktu bayi akhirnya percaya Tuhan. Tetapi ada juga yang tidak. Dan ini memimpin kepada masalah berikutnya:

b. Dampak Sosial
Martin Luther memulai gerakan reformasi di awal abad 16 Masehi, dan segera berbagai denominasi Protestan muncul di Eropa. Baik Lutheran, Presbyterian, Methodis, maupun Anglikan, semuanya mempraktekkan pemercikan bayi. Lalu, fenomena apa yang muncul di kekristenan Eropa selanjutnya? Munculnya Liberalisme.

Pada abad 18 dan 19, di Eropa, di berbagai denominasi Prostetan, mulai berjamuran theolog-theolog liberal, dengan theologi mereka yang menyesatkan. Mereka mulai menyerang Alkitab, meragukan keunikan dan pengilhamannya. Mereka meragukan kepenulisannya dengan Higher Criticism, meragukan bahwa Musa menulis kitab Taurat, bahwa Yesaya menulis keseluruhan kitabnya, dan banyak lagi. Mereka menyerang teks Alkitab dengan Lower Criticism, yang memunculkan Critical Text. Mereka meragukan mujizat-mujizat dalam Alkitab, menyatakan kisah Yunus sebagai fiksi, Adam dan Hawa sebagai mitos, bahwa kelahiran dari perawan adalah lelucon. Mereka mulai bahkan meragukan pribadi Yesus, dan menganggap bahwa informasi dalam Injil telah melalui proses mitologisasi. Mereka meragukan kebangkitan Yesus Kristus. Semua ini berlanjut hingga ke abad 20 dan 21 sekarang ini.

Aneh sekali bahwa justru tempat-tempat seperti Jerman, menjadi kantong liberalisme. Waktu saya menyelesaikan program Doktor di Amerika, saya bersama seorang dosen pernah mengunjungi sebuah perpustakaan theologi yang besar. Dia berpesan bahwa jika saya melihat nama seorang Jerman sebagai penulis sebuah buku, maka kemungkinannya besar bahwa buku itu dari sudut pandang liberal. Mengapa bisa demikian? Martin Luther pasti tidak tenang jika melihat anak cucu rohaninya demikian!

Salah satu alasan munculnya liberalisme tentu adalah bangkitnya humanisme dan rasionalisme, sehingga manusia mulai meragukan hal-hal ilahi. Tetapi ini tidak bisa menjawab semuanya. Mengapakah orang-orang ini, jika memang mereka tidak percaya Firman Tuhan, tidak menjadi atheis saja? Mengapa mereka bergelar doktor theologi? Mengapa mereka adalah “pendeta-pendeta”? Mengapa mereka Kristen bahkan? Jawabannya adalah karena mereka telah “dibaptis” waktu bayi! Karena mereka sudah “dibaptis” waktu bayi, maka mereka sudah berstatus “Kristen,” mereka sudah ada dalam “gereja,” dan mereka tumbuh besar tanpa iman yang sejati, tetapi merasa diri Kristen. Mereka ada yang menjadi “pendeta” dan menjadi “doktor theologi.” Tetapi mereka tidak pernah lahir baru. Hasilnya adalah liberalisme. Hasilnya adalah doktor theologi yang mau menjelaskan Alkitab, tetapi tidak percaya Alkitab. Dan karena status mereka sebagai “Kristen” dan “pendeta” dan “doktor theologi,” kerusakan yang mereka lakukan sungguhlah besar. Seandainya mereka tidak dibaptis waktu bayi, mereka mungkin menjadi atheis-atheis. Itu lebih baik, daripada menjadi “doktor theologi Kristen” tetapi yang merusak kekristenan dari dalam.

Liberalisme telah menanamkan keraguan ke dalam begitu banyak generasi muda. Liberalisme dipakai oleh agama lain, seperti Islam, sebagai argumen melawan kekristenan yang sejati. Orang Islam berkata, “tuh, ahli kalian sendiri mengatakan bahwa Alkitab telah dipalsukan.” Orang Islam tidak memahami bahwa “ahli” yang mereka maksud sama sekali bukan orang Kristen sejati, tetapi kristen-kristenan, yang dikristen paksa waktu mereka masih bayi, dan akhirnya menjadi theolog tanpa kelahiran kembali. Tanpa kelahiran kembali, tidak bisa seseorang memahami hal-hal yang mendalam dari Firman Tuhan. Dan, saya yakin, bahwa salah satu alasan mengapa gereja-gereja pemercik bayi masih terus mempertahankan praktek mereka, yang sudah jelas bertentangan dengan prinsip Firman Tuhan, adalah karena persentase yang besar dari antara mereka hanyalah “Kristen” karena dipercik waktu bayi, tanpa kelahiran kembali. Sungguh berbahaya. Liberalisme bisa muncul, ada andil baptisan bayi di dalamnya. Sungguh berbahaya. Baptisan bayi telah ikut andil dalam menyesatkan begitu banyak orang. Tinggalkanlah, dan taatilah Alkitab!

Oleh Dr. Steven E. Liauw, Th.D

No comments: